Sudut Pandang

“SAKIT” NYA LAHAN PERTANIAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Belum lama ini, Guru Besar IPB University, Iswandi Anas Chaniago mengungkapkan bahwa 72 persen dari tanah-tanah pertanian di Indonesia saat ini sedang sakit, karena kekurangan bahan organik. Kondisi tersebut disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia yang masih sangat tinggi. Lahan pertanian, betul-betul sedang sakit. Kita berkewajiban untuk menyembuhkan nya.

Kalau saja dapat berteriak lantang, boleh jadi “LAHAN PERTANIAN” akan menggelar orasi di depan Gedung Sate, Bandung atau di Gedung DPR/MPR tentang kondisi nya saat ini. Andaikan ” LAHAN PERTANIAN” mampu mengucurkan air mata, besar peluang nya mereka untuk datang berbondong-bondong ke Istana Negara guna mengadukan nasib nya. Bahkan jika “LAHAN PERTANIAN” bisa menulis, dijamin halal mereka pun bakal menggiring opini publik di media massa terkait dengan keadaan yang menimpa diri nya. 

Sayang nya, “LAHAN PERTANIAN” hanyalah hamparan-hamparan tanah yang tidak mampu bicara, tidak dapat mengucurkan air mata dan tentu saja tidak akan bisa menorehkan kata dan kalimat. Namun begitu, “LAHAN PERTANIAN” tetap menjadi sumber kehidupan dan penghidupan sebagian besar warga bangsa yang ada di muka bumi ini.

“LAHAN PERTANIAN” inilah yang dijadikan lokasi untuk memberi kehidupan bagi kita semua. Di “LAHAN PERTANIAN” tersebut dapat kita saksikan bagaimana para petani kita bercocok-tanam padi, jagung, kedele, singkong, pisang, bawang, wortel, kentang , dan lain sebagai nya. 

Mereka secara ikhlas pergi ke sawah pada pagi hari dan pulang ke rumah sore hari. Terik nya matahari menjadi penyemangat petani untuk terus berkarya. Mereka tidak pernah menuntut atau protes keras manakala para Penyuluh Pertanian menganjurkan agar mereka memupuk sawah ladang nya dengan pupuk-pupuk an organik.

Mereka benar-benar menjadikan “LAHAN PERTANIAN” sebagai tumpuan kehidupan nya. Oleh karena itu menjadi tugas dan kewajiban kita bersama untuk menjaga dan memelihara nya agar “LAHAN PERTANIAN” tetap subur dan selalu memberi berkah bagi mereka yang mengelola nya.  Keteledoran kita bersama, bila kini terekam lahan pertanian sedang sakit.

Yang membuat kita nelangsa, ternyata dalam beberapa tahun belakangan ini, tersiar kabar bahwa di beberapa daerah “LAHAN PERTANIAN” banyak yang tidak subur lagi karena hampir tidak ada lagi kandungan hara di dalam nya. Lapisan atas lahan (top soil), seperti nya telah rusak karena terus menerus di bombardir oleh pupuk kimiawi.

Beberapa peneliti malah menyebut kondisi “LAHAN PERTANIA ” kita sedang sakit. Seorang sahabat justru menyatakan bahwa kesehatan LAHAN PERTANIAN di negeri ini berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Ditilik lebih dalam lagi, ternyata kondisi seperti ini tentu tidak datang tiba-tiba. Sebelum nya pasti ada kejadian yang menyebabkan semua ini bisa terjadi. 

Revolusi Hijau yang kita mulai tahun 1970-an, rupa nya betul-betul telah menghujani “LAHAN PERTANIAN” kita dengan pupuk-pupuk an organik yang ditengarai bakal mampu meningkatkan produksi secara spektakuler. Tuntutan meningkatkan produksi setinggi-tinggi nya, dijawab dengan penggunaan pupuk kimia.

Bukti nya, seiring dengan perjalanan waktu, ternyata pada tahun 1984 bangsa ini mampu meraih swasembada beras. Badan Pangan Dunia pun mengakui keberhasilan yang kita raih. Saat itu kita lupa dan terlena oleh keajaiban pupuk kimiawi sehingga teledor untuk mengkombinasikan nya dengan pupuk organik.

Lebih 50 tahun kita memupuk “LAHAN PERTANIAN” dengan pupuk an organik. Kesadaran untuk menghadirkan pupuk organik, terkesan cukup terlambat. Pemerintah lebih senang mewacanakan tentang penting nya penggunaan pupuk organik ketimbang mempraktekan nya secara nyata di lapangan. Pengumuman Pemerintah yang akan menerapkan “Go Organic” selalu mengalami ketidak-pastian.

Akibat nya wajar bila dalam suasana hari ini, “LAHAN PERTANIAN” khusus nya sawah, banyak yang sakit. Kesehatan sawah benar-benar berada dalam keadaan yang kritis. Banyak pengamat yang memvonis bahwa kondisi “LAHAN PERTANIAN” kita sekarang betul-betul sudah “membatu”, karena tiada henti dibombardir oleh pupuk-pupuk an organik.

Dulu untuk menghasilkan 5 sampai 6 ton gabah per hektar cukup dengan 250 kilo gram pupuk Urea dan pupuk-pupuk an organik lain nya. Tapi sekarang ternyata kebutuhan pupuk urea nya saja harus bertambah jadi 400 hingga 500 kilo gram per hektar jika kita ingin menghasilkan produksi gabah sebagaimana yang dipaparkan diatas.

Dan kalau kita bertahan dengan angka 250 kilo gram pupuk Urea per hektar, maka produksi yang dihasilkan boleh jadi hanya 3 ton gabah saja. Padahal kita tahu persis bahwa Pemerintah kini tengah berjuang keras untuk menggapai swasembada padi, jagung dan kedele, yang harus dapat diwujudkan dalam waktu yang sesegera mungkin. 

Berkaca pada hal yang demikian, maka pilihan nya adalah apakah kita akan mengorbankan kesehatan sawah yang ada guna mengejar target pencapaian swasembada atau kah kita akan sungguh-sungguh untuk menyehatkan sawah dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia dan menerapkan pemakaian pupuk organik ? Kita butuh jawaban cerdas jika dan hanya jika kita ingin memelihara marwah pertanian sebagaimana mesti nya. (PENULIS ADALAH KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *