Sudut Pandang

KELENGAHAN MENGGENJOT PRODUKSI PADI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Betul jika ada pandangan yang menyatakan “jangan pernah lengah menggenjot produksi padi”, meskipun tahun depan segenap bangsa akan meranaikan pesta demokrasi 2024. Benih padi yang saat panen menjadi gabah, lalu digiling menjadi beras, selanjutnya dimasak menjadi nasi, pada intinya merupakan jenis bahan pangan karbohidrat yang berperan sebagai penyambung nyawa kehidupan. Tanpa nasi, seolah-olah tidak ada kehidupan. Itu sebabnya, kita jangan pernah teledor dalam melahirkan kebijakan terkait dengan sistem perberasan itu sendiri.

Salah satu aspek penting dari usahatani padi adalah sisi produksi. Sejak lama, di tungkat nasional, untuk melakukan pengelolaan sisi produksi pertanian, khususnya padi telah menugaskan dan memberi kewenangan penuh kepada Kementerian Pertanian untuk menggarapnya debgan sungguh-sungguh. Itu alasannya, mengapa Kementerian Pertanian, sering diistilahkan sebagai Kementerian Bercocok Tanam. Lepas dari setuju atau tidak dengan vonis semacam itu, Kementerian Pertanian, memang memiliki tugas utama, meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada.

Semangat untuk meraih swasembada sebenarnya telah dipertontonkan oleh komiditas beras. Sudah dua kali Indonesia mampu mengejutkan warga dunia dengan kisah sukses Swasembada Beras. Pertama adalah Swasemvada Beras 1984. Dalam Sidang Tahunan nya Badan Pangan Dunia (FAO) telah mengumunkan keberhasilan Indonesia dalam menggapai Swasembada Beras sekaligus mendaulat Presiden Soeharto untuk membagikan pengalaman kisah suksesnya itu kepada para Kepala Negara di dunia, yang menjadi anggota FAO. Semua yang hadir terpukau dan memberi tepuk tangan meriah, seusai Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya.

Betapa tidak akan terkesima ? Bayangkan, Indonesia yang semula dikenal sebagai salah satu negara terbesar pengimpor beras, dalam waktu yang relatif singkat mampu berswasembada. Bahkan saat itu pun Indonesia dapat memberi bantuan kemanusiaan berupa beras kepada Ethopia, yang ketika itu tengah dilanda bencana kelaparan karena terjadunya perang antar suku di negara tersebut. Sebagai warga bangsa, tentu saja kita memiliki kebanggaan tersendiri atas kinerja Pemerintah dalam pembangunan pertanian, khusus di sektor perberasan. Walau Swasembada Beras ini tidak berkekanjutan karena berbagai kendala yang ada, namun warga dunia telah mencatat, Indonesia pernah menyabet prestasi Swasembada Beras.

Kedua, keberhasilan meraih kembali Swasembada Beras 2022. Lagi-lagi warga dunia terbengong-bengong atas kisah sukses Swasembada Beras Jilid II ini. Kok bisa, di saat seluruh warga dunia disergap Covid 19, Indonesia malah manpu berswasembada beras ? Saat itu, isu krisis pangan menjadi kerisauan warga dunia, namun produksi padi kita malah mampu meningkat cukup signifikan. Dilihat dari aspek peningkatan produksi padi, ternyata sergapan virus Corona, tidak terkalu berdampak pada kehidupan para petani padi di negeri ini. Para petani padi, asyik dan santai-santai saja bertani guna meningkatkan hasil produksinya. Serangan Covid 19 sendiri, seperti yang kurang berdampak terhadap kiprah petani dalam berusahatani padi.

KIsah Sukses Indonesia menggapai Swasembada Beras 2022 dibuktikan dengan diterimanya Piagam Penghargaan yang diterima secara langsung oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta. Lagi-lagi kita perlu memberi acungan jempol atas prestasi yang dicapai Pemerintah ini. Penghargaan yang diinisiasi oleh Lembaga Riset Dunia sekelas International Rice Reasearch Institute (IRRI) didampingi perwakilan FAO ini, memberi bukti kepada segenap warga dunia, Indonesia memang cukup serius dalam membangun pertanian. Indonesia selalu terbuka dalam menerapkan teknologi dan inovasi di bidang budidaya pertanian. Dan Indonesia pun tidak akan pernah merasa lelah dalam menggenjot produksi padi.

Itulah dua prestasi para petani padi dalam mengharumkan nama bangsa dan negara di panggung internasional. Akan tetapi, seperti pepatah “tidak ada gading yang tidak retak”, kita pun sempat kecolongan dengan semakin menipisnya cadangan beras Pemerintah. Kita sendiri belum berani mengungkapkan dengan jujur, mengapa hal itu bisa terjadi. Mengapa kita sampai gegabah dalam mengelola cadangan beras Pemerintah sehingga berada pada angka yang mengancam ketahanan pangan nasional ? Lalu, bagaimana kaitannya dengan swasembada beras yang kita proklamirkan beberapa bulan sebelumnya ? Jangan-jangan, kita memang tidak sungguh-sungguh dalam merancang Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah itu sendiri.

Yang lebih memilukan adalah terpaksa kita harus membuka kembali kran impor beras yang selama 3 tahun berturut-turut kita tutup rapat. Walau data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan produksi beras kita melimpah dan tersebar di penggilingan, pedagang dan masyarakat, tapi impor beras tidak bisa dihindarkan. Saat itu, kita impor sebesar 500 ribu ton beras untuk menguatkan cadangan beras Pemerintah. Cukup menggelikan, impor beras di saat produksi beras berlimpah dan surplus. Bukankah jika surplus kita harus ekspor. Sebaliknya, kita perlu impor jika memang defisit. Logika impor di waktu surplus, susah diterima secara akal sehat. Tapi itulah fakta kehidupan yang terjadi di Tanah Merdeka.

Kelengahan sampai menipisnya cadangan beras Pemerintah yang mencengangkan para penentu kebijakan perberasan ini, mestinya tidak perlu terjadi, sekiranya Pemerintah memiliki Grand Desain yang utuh, holistik dan komprehensif tentang Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah. Pertanyaan kritisnya apakah Pemerintah telah memiliki Grand Desain tersebut lengkap dengan Roadmap pencapaiannya atau belum ? Kalau memang ada, mengapa sampai teledor seperti itu. Kemudian, apakah Pemerintah sudah menerapkan pendekatan deteksi dini dalam merumuskan Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah ini, atau masih gandrung menerapkan pendekatan sebagai pemadam kebakaran ? Setelah kejadian baru rame-rame mencarikan solusinya.

Hadirnya Badan Pangan Nasional diharapkan mampu membawa aura perubahan menuju lahirnya Tata Kelola Cadangan Beras Pemerubtah yang semakin berkualitas. Revitalisasi Perum Bulog sebagai operator yang ditugaskan melakukan penyerapan hasil panen petani, penting secepatnya dilakukan. Perum Bulog penting diberi “darah baru” (giving a new life) dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya selaku pelaksana di lapangan. Titik lemah Perum Bulog dalam penyerapan gabah dan beras petani, secepatnya disempurnakan. Jangan ditunda-tunda lagi. Ini penting, agar pengalaman pahit tahun lalu tidak terulang lagi. Ironis, di saat produksi melimpah, bahkan surplus, kok bisa Perum Bulog sangat kesulitan memperoleh gabah atau beras.

Terkait dengan tugas dan fungsi Kementerian Pertanian, sekalipun data BPS menyebut produksi padi melimpah, tentu pola pikirnya hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan perut rakyat. Jangan-jangan produksi beras yang melimpah itu, hanya mampu memenuhi keperluan konsumsi masyarakat. Padahal, kebutuhan kita bukan cuma itu. Kita butuh jumlah yang cukup besar untuk menguatkan cadangan beras Pemerintah. Kita butuh beras yang tidak sedikit untuk digunakan bantuan sosial beras Lebaran. Dan tentu, kita pun butuh beras untuk keperluan lain yang sifatnya mendesak. Ini berarti, kita tidak boleh kendor dalan menggenjot peningkatan produksi. Pemerintah penting mencari terobosan cerdas dalam mengoptimalkan inovasi dan teknologi budidaya tananan yang ada.

Kejayaan 3 serangkai Peneliti-Penyuluh Pertanian-Petani, rasanya perlu dibangkitkan kembali. Jangan biarkan mereka asyik dengan permasalahaan masing-masing. Kita ingatkan keberadaan mereka di masa lalu yang mampu mengharumkan nama bangsa dan negara di pentas dunia. Berkat peneliti dan pemulia tanaman kita mampu melahirkan benih padi yang berproduksi cukup tinggi. Berkat para Penyuluh Pertanian, hasil para peneliti dan pemulia tanaman diatas bisa disampaikan kepada para petani. Dan berkat petani inilah produksi padi menjadi semakun meningkat. Kiprah 3 serangkai yang penuh prestasi mengagumkan ini, tentu jangan dibiarkan berlalu dengan begitu saja. Ini jelas, kewajiban kita bersama untuk membangkitkannya lagi.

Kita percaya dalam menggenjot produksi padi, Kementerian Pertanian beserta aparat Dinas Pertanian di daerah sudah cukup piawai dan teruji. Yang dibutuhkan lebih lanjut adalah bagaimana membangun kesadaran baru kepada segenap komponen bangsa, produksi padi yang kita hasilkan, ternyata masih kurang untuk memenuhi kebutuhan. Akibatnya, produksi padi harus terus digenjot sambil menjawab persoalan yang menghambatnya. Satu persoalan serius yang butuh solusi cerdas adalah semakin berkurangnya ruang pertanian. Mengacu kepada revisi RTRW Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, kita jarang menemukan ada daerah yang menambah ruang pertanian. Justru yang terjadi sebaliknya. Ruang pertanian tergerus oleh kepentingan infra struktur dasar, kebutuhan pemukiman/perumahan, pengembangan kawasan industri dan lain sebagainya.

Hal lain yang butuh penanganan dengan cepat adalah soal kesehatan lahan pertanian yang semakin memburuk. Dampak penggunaan pupuk kimia yang semakin membabi-buta karena mengejar produksi setinggi-tingginya, membuat lahan pertanian semakin tidak sehat. Hampir tidak pernah ada langkah untuk menyembuhkannya. Padahal, kalau lahan sawah sakit, mana mungkin kita bakal mampu menggenjot produksi. Inilah masalah besar yang perlu penanganan serius di masa kini. Sedihnya lagi, program pencetakan sawah yang dikembangkan, terbukti tidak mampu memberi hasil yang optimal. Begitu pun dengan pemakaian pupuk organik. Hingga kini lebih banyak mengedeoan sebagai wacana ketimbang fakta di lapangan.

Atas gambaran yang demikian, tanpa adanya kemaun politik yang kuat dari Pemerintah untuk tidak meminggirkan pertanian dari panggung pembangunan, boleh jadi pertanian akan semakin ditinggalkan banyak orang. Sekarang saja, banyak kaum muda yang enggan berkiprah menjadi petani. Profesi petani sungguh tidak menarik kaum muda untuk menggelutinya. Petani dianggap sebagai pekerjaan yang nenjebak hidup dalam kemiskinan. Pemerintah sendiri, seperti yang tidak punya solusi memberi jaminan kepada kaum muda, jika menjadi petani itu bakal hidup sejahtera. Akibatnya wajar bila kaum muda berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman mereka guna menatap kehidupan yang lebih cerah dan ceria.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *