Sudut Pandang

JANGAN PERNAH LELAH, KAMPANYE PANGAN NON BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Pengalaman menunjukan, salah satu kegagalan program penganekaragaman konsumsi pangan, dikarenakan Pemerintah sangat senang menerapkan program lewat pendekatan proyek. Program nya belum tuntas, tapi tenggat waktu proyek sudah habis, maka selesai pulalah program yang dijalankan.

Pengembangan Pangan Alternatif non beras, rupa nya menjadi salah satu pilihan Pemerintah dalam “membumikan” semangat diversifikasi pangan lokal ke arah kenyataan di lapangan. Diversifikasi pangan sendiri sudah lebih dari 60 tahun kita kembangkan di negeri ini.

Setiap Kepala Negara yang diberi amanat rakyat untuk menakhkodai bangsa dan negara ini sepakat bahwa ketergantungan terhadap satu jenis bahan pangan karbohidrat, yakni beras, bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan.

Sayang nya, hingga sekarang, semangat untuk meragamkan pola makan masyarakat agar tidak menggantungkan diri terhadap beras, tampak nya masih belum tercapai dengan optimal. Rakyat kita ternyata masih doyan makan nasi.

Mereka belum berkenan untuk menjadikan singkong sebagai makanan pokok nya. Di sisi lain, beras bukan satu-satu nya bahan pangan. Namun kita masih punya singkong, jagung, pisang, talas, sagu dan kentang. 6 jenis bahan pangan lokal inilah yang dalam Pemerintahan Jokowi disebut sebagai Pangan Alternatif.

Geliat nyata Pemerintah untuk mengembangkan Pangan Alternatif, kini semakin terekam dalam berbagai kebijakan yang digulirkan nya. Pemerintah sadar betul bahwa konsumsi beras per kapita per tahun masih bertengger pada angka yang cukup tunggi.

Dibandingkan dengan negara-negara sahabat, laju konsumsi beras kita sekitar 95, masih lebih tinggi dari Sungapura, Malatsia, Thailand mau pun Vietnam. Apalagi dengan Korea atau Jepang. Sejak beberapa tahun lalu, mereka telah mampu menekan laju konsumsi beras masyarakat nya pada angka dibawah 70.

Sedangkan kita, bila mengikuti skenario yang ada, pada tahun 2024 baru berharap agar mampu mencapai angka 85. Arti nya, tanpa ada kerja keras, bisa jadi spirit untuk mengerem konsumsi beras, tak ubah nya ibarat menangkap bayang-bayang saja. Semakin di dekati, terlihat semakin menjauh.

Akibat nya wajar kalau bangsa kita ingin mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain dalam hal laju konsumsi masyarakat terhadap beras, maka solusi nya adalah stop wacana. Mari berkiprah secara nyata. Lepaskan pendekatan keproyekan dan mulai dengan pola gerakan.

Sebetul nya masih ada cahaya di ujung terowongan. Kemauan politik untuk mengembangkan Pangan Alternatif Non Beras, semesti nya bisa langsung diikuti oleh tindakan politik nya. Mulailah dengan data yang berkualitas. Kita buat mapping potensi 6 jenis Pangan Alternatif yang tersebar di seluruh tanah air.

Pendataan yang berkualitas ini penting, agar kita tidak mengulangi kekeliruan masa lalu, dimana kita lebih senang melaporkan data yang Asal Bapak Senang (ABS). Data harus sahih dan akurat. Kita tidak boleh sedikit pun bermain-main dengan data. Sebab, sekali nya kita tidak serius dengan data, boleh jadi hal ini akan menjadi beban bagi generasi yang akan datang.

Kita sendiri punya pengalaman buruk soal data perberasan. Sekitar 3 tahun lalu, Badan Pusat Statistik mengenalkan metode Kerangka Sampel Area yang dikenal dengan KSA. Penyokong nya bukan cuma BPS, namun berkolaborasi dengan Kementerian dan Lembaga lain seperti Kementerian ATR/BPN, BIG dan BPPT.

Pola KSA dirancang untuk menyempurnakan data produksi beras, yang selama ini memakai sistem ubinan. Yang mengejutkan ternyata data produksi beras yang dihitung dengan KSA terjadi perbedaan data sekitar 32 % dengan sistem ubinan. Data KSA lebih kecil angka nya. Konsekwensi nya wajar bila banyak daerah yang semula dikenal surplus menjadi defisit.

Itulah pengalaman buruk terkait dengan data. Dalam rangka pengembangan Pangan Alternatif non Beras, kita berharap agar data yang dimiliki betul-betul akurat dan akuntabel. Berbasis pada data tersebut, ada baik nya mulai dirancang kegiatan prioritas apa saja yang perlu segera digarap. Pemilihan prioritas ini tentu harus dikaitkan dengan kearifan lokal daerah pengembangan Pangan Alternatif itu sendiri.

Kalau selama ini kita sudah memiliki Road Map Diversifikasi Pangan Lokal, maka langkah berikut nya adalah menerapkan Road Map tersebut ke dalam langkah nyata di lapangan. Kita harus hindari terjadi nya “tabrakan” kepentingan antara Road Map dengan kegiatan. Terlebih-lebih yang berkaitan dengan politik anggaran nya sendiri. Itu sebab nya, penting disepakati siapa yang akan membawa pedang samurai nya, khusus nya di daerah.

Pangan Alternatif non Beras, seperti nya perlu segera dijadikan Gerakan Nasional dan Daerah. Pola lama yang miskin komitmen, kini perlu untuk diperjelas dan dipertegas. Komitmen yang kuat, baik dari desain perencanaan atau pun politik anggaran, penting dijadikan “moral force” dalam menopang kegiatan ini.

Setelah berkomitmen, mari kita berkiprah dengan konsisten. Bila hal ini dapat dilakukan, kita optimis bahwa pada suatu saat nanti, Pangan Alternatif bakal mampu menggantikan posisi beras sebagai makanan utama bangsa. Tentu secara bertahap.

(PENULIS ADALAH KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *