Badung. Bali semestinya mampu menjadi contoh dalam pengimlementasian green election dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2024. Green Election atau Pemilihan Umum (Pemilu) Hijau memiliki arti Pemilu yang lebih memperhatikan atau peduli terhadap lingkungan selama proses pelaksanaannya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Akademisi dari Universitas Warmadewa (Unwar) Dr. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si, ketika menjadi narasumber pada acara Penyuluhan Etika bagi Penyelenggara Pemilu yang digelar di Kabupaten Badung, Bali, pada Rabu (10/7).
Menurut Muliarta yang juga merupakan Tim Pemeriksa Daerah DKPP RI Wilayah Bali, Bali memiliki keunggulan dari segi kearifan lokal Tri Hita Karana yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Selain itu, Bali juga telah memiliki beberapa aturan daerah terkait pengurangan sampah sekali pakai dan pengelolaan sampah berbasis sumber.
“Bali memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dalam penyelenggaraan Pemilu Hijau. Kearifan lokal Tri Hita Karana dan aturan daerah terkait lingkungan dapat menjadi fondasi yang kuat dalam mengimplementasikan konsep Green Election,” ujar Muliarta.
Lebih lanjut, Muliarta menjelaskan bahwa Green Election merupakan upaya untuk meminimalisir dampak negatif dari penyelenggaraan Pemilu terhadap lingkungan. Beberapa langkah yang dapat diterapkan antara lain pengurangan penggunaan kertas, pemanfaatan teknologi digital, pengelolaan limbah kampanye, dan edukasi pemilih terkait pemilu ramah lingkungan.
“Pemilu Hijau tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan partisipasi pemilih dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Bali memiliki semua potensi untuk menjadi pionir dalam implementasi konsep ini,” pungkas Muliarta yang merupakan Koordinator Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Bali, NTB dan NTT.
Ia mencontohkan upaya pengurangan penggunaan baliho dalam kampanye dan sosialisasi ke bentuk media sosial atau media online. Strategi ini juga menjadi langkah efisiensi dalam pelaksanaan pilkada dan menjadikan sosialisasi dan kampanye menjadi efektif, karena dapat dilakukan sesuai dengan target sasaran.
“Misalnya menggunakan instagram dan tiktok untuk menyasar kalangan pemilih pemula. Menggunakan facebook untuk menyasar pemilih dewasa. Dengan begitu biaya lebih efisien dan harapanya tidak ada lagi penempelen alat kampanye atau sosialisasi di pohon, apalagi memasangnya dengan menggunakan paku” jelasnya.
Muliarta menambahkan bahwa beberapa hasil penelitian dan beberapa pandangan juga telah menyampaikan penggunaan baliho dalam pemilu tidak ramah lingkungan. Baliho umumnya terbuat dari bahan-bahan yang sulit untuk didaur ulang dan membutuhkan waktu lama untuk terurai secara alami. Produksi baliho juga memerlukan sumber daya alam dan energi yang cukup besar, sehingga meninggalkan jejak karbon yang signifikan.
Setelah masa kampanye berakhir, baliho-baliho tersebut acapkali ditinggalkan begitu saja, menyebabkan penumpukan limbah yang sulit dikelola. Hal ini dapat mencemari lingkungan, terutama jika baliho tersebut tidak didaur ulang atau dikelola dengan baik.
Kemudian baliho yang dipasang di ruang publik dapat mengganggu pemandangan dan mengurangi estetika lingkungan perkotaan. Pemasangan baliho juga dapat mengganggu fungsi ruang publik sebagai tempat interaksi dan kegiatan masyarakat.