Sudut Pandang

NTP JELANG LEBARAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Nilai Tukar Petani (NTP), walau sekarang banyak diprotes, karena tidak mampu menggambarkan secara nyata tingkat kesejahteraan petani, namun hingga kini NTP inilah satu-satu ukuran yang digunakan Pemerintah untuk menilai kesejahteraan petani. Banyak usulan agar para pakar ekonomi pertanian yang berkiprah sebagai dosen, peneliti atau pun pengamat segera berkumpul dan berani melahirkan ukuran baru untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan petani

Sayang, semua ini baru sebatas wacana. Dalam kenyataannya, lagi-lagi kita disuguhkan data tentang NTP. Pertanyaan mendasarnya adalah ada apa sebetulnya dengan NTP ? Mengapa Pemerintah, termasuk para pakar ekonomi pertanian seperti yang kehilangan gairah untuk merumuskan ukuran kesejahteraan petani yang lebih keren dibandingkan dengan NTP ? Terlebih ada kemauan untuk melahirkan ukuran baru soal kesejahteraan petani itu sendiri.

Belum lama berselang, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat nilai tukar petani atau NTP pada Maret 2023 naik sebesar 0,29 persen dibandingkan Februari 2023. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini mengatakan angka NTP kini menjadi 110,85.  Peningkatan NTP terjadi karena indeks harga yang diterima petani naik 0,53 persen menjadi 128,79. Adapun indeks harga bayar petani naik 0,24 persen menjadi 116,19. Komoditas utama penyumbang kenaikan harga terima petani, di antaranya cabai rawit, rokok ketek filter, bawang putih, dan telur ayam ras. 

Sementara itu, BPS mencatat NTP subsektor tanaman pangan pada Maret 2023 turun 1,20 persen menjadi 103,83 persen. Sedangkan subsektor hortikultura naik 1,91 persen menjadi 113, 16. Lalu subsektor tanaman perkebunan rakyat naik 1,94 persen menjadi 129,47.  NTP subsektor peternakan juga naik sebesar 0,58 persen menjadi 100,34. Tercatat NTP nelayan turun 0,15 persen menjadi 105,58 dan NTP pembudi daya ikan naik 0,58 persen menjadi 105,30.

Data BPS ini cukup menarik didalami, karena menjelang tibanya Hari Lebaran, NTP meningkat. Padahal, di sisi lain BPS juga menengarai harga Sembako bakal meroket. Merangkaknya harga bahan pokok, telah diawali dengan merangkaknya kenaikan harga beras di pasaran. Pelan tapi pasti, harga beras pun mengundang kerisauan banyak pihak. Lebih mengejutkan lagi, ternyata Pemerintah seperti yang tak berdaya untuk menurunkan kembali harga beras pada tingkat harga yang wajar.

Seabreg langkah telah ditempuh, namun harga beras tetap tidak mau turun juga. Operasi Pasar beras ditempuh di banyak daerah. Lagi-lagi tidak memberi dampak signifikan terhadap penurunan harga beras. Bahkan ketika beras impor digelontorkan ke pasar-pasar, harga beras juga tidak mau turun. Bertenggernya harga beras diangka yang cukup mahal, membuat banyak pihak terpaksa mengerutkan dahi. Suasana harga beras saat ini betul-betul tampil menjadi misteri perberasan yang tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

Beras memang komoditas politis dan strategis. Siapa pun yang menakhkodai bangsa ini, hendaknya jangan pernah bermain-main dengan beras. Bagi kita, beras adalah sumber kehidupan dan penghidupan sebagian besar masyarakat. Beras inilah yang membuat nyawa kehidupan tetap berjalan. Jangan sampai bangsa ini mengalami kekurangan beras. Itu sebabnya, ketersediaan beras harus selalu kita penuhi. Tidak boleh produksi beras kita menurun. Beras bagi rakyat, mesti terpenuhi dan tercukupi setiap waktu.

Cita-cita pembangunan pertanian, tentu bukan hanya berjuang meningkatkan produksi. Yang tak kalah penting dilakukan, bagaimana produksi yang meningkat cukup signifikan ini, dapat meningkatkan kesejahteraan para petaninya pula. Bagi pejuang petani, yang dinamakan dengan petani sejahtera merupakan harga mati. Tidak perlu lagi ada negosiasi atau tawar menawar. Hal ini penting dicamkan, karena meningkatnya produksi terbukti tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan petani. Bahkan ada kesan, antara produksi padi dengan kesejahteraan petani tidak berkorelasi positip.

Bulan Maret 2023 atau beberapa minggu jelang lebaran, BPS kembali merilis tentang NTP. Angka NTP sebesar 110,85, menunjukkan tingkat kesejahteraan petani mulai menunjukkan peningkatan yang lebih baik. Angka NTP sebesar ini memang belum menyenangkan semua pihak. Mestinya agar potret petani sejahtera betul-betul tergambarkan secara nyata dalam kehidupan, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, NTP setidaknya harus berada di indeks 130. Pada angka inilah para petani akan sedikit terbebas dari kesusahan hidup yang selama ini membelenggunya.

Dihadapkan kepada gambaran yang demikian, kelihatannya ada persoalan serius yang butuh jawaban cerdas. Mengapa Pemerintah tidak berani membuat target pencapaian NTP sebagaimana hal nya penetapan target pertumbuhan ekonomi ? Sebut saja, selama tahun 2023 ini, Pemerintah menargetkan agar NTP dapat mencapai angka 130. Ini berarti, kita bakal sungguh-sungguh mengejar angka tersebut, agar kesejahteraan petani meningkat secara berkualitas. Berbagai ihtiar tentu akan ditempuh. Kita pasti bakal mencari inovasi dan teknologi yang bersifat terobosan.

Pemerintah, tidak boleh lagi membuat asumsi jika produksi meningkat, otomatis potret kesejahteraan petani bakal meningkat. Anggapan ini tidak selamanya benar. Walaupun produksi mampu ditingkatkan secara signifikan, namun tidak disertai dengan tingkat harga yang wajar dan menguntungkan para perani, maka tetap saja petani sulit untuk hidup sejahtera. Justru, disinilah kehadiran Pemerintah lewat pengendalian harga sangat dimintakan. Pengalaman selama ini, adanya oknum-oknum tertentu yang doyan memainkan harga di tingkat petani sudah saatnya dihentikan.

Kebijakan menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras dengan persentase yang angkanya tidak jauh berbeda, sebaiknya dikaji ulang penerapannya. Bukankah kalau kita ingin melindungi petani agar pendapatannya meningkat, maka kebijakan harga yang dilakukan dengan menaikkan harga gabah dan menurunkan harga beras. Ini menarik, karena sebagian besar petani padi berlahan sempit, hasil akhir panenan nya berwujud gabah. Bukan beras. Setelah selesai panen, mereka menjual seluruh hasil panenan nya. Budaya lumbung sudah semakin memudar dalam dunia pertanian kita.

Tantangan ke depan, mampukah Pemerintah memfasilitasi para petani agar hasil panen yang mereka jual tidak dalam bentuk gabah, tapi dalam bentuk beras ? Bila mampu, tentu saja para petani akan mendapatkan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi dalan usahatani padi yang digarapnya. Tidak seperti saat ini, yang mengenyam dan nenikmati nilai tambah ekonomi tersebut adalah para pedagang, pengusaha penggilingan skala besar/menengan, bandar dan tengkulak. Jika ada kemauan politik, seharusnya Pemerintah dapat segera memulainya.

Menggeser status petani dari petani gabah menjadi perani beras, bukanlah hal yang terlampau sulit untuk diwujudkan. Kebijakan bantuan alat mesin pertanian, tidak lagi hanya berurusan dengan hal-hal yang berurusan dengan upaya peningkatan produksi, tapi harus dibarengi pula dengan upaya peningkatan pendapatan petani. Kalau petani nekalui Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani diberi bantuan alat penggilingan padi skala mini, boleh jadi para petani akan mendapat nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi. Sebab yang mereka jual tidak lagi dalam wujud gabah tapi sudah diolahnya menjadi beras.

Sebuah kekeliruan yang cukup besar, jika kita tetap membiarkan para petani padi berlahan sempit tetap berada dalam status sebagai petani gabah. Kalau kita ingin neningkatkan pendapatan mereka, sehingga tingkat kesejahteraannya semakin membaik, segera geser statusnya menjadi petani beras. Pemerintah jelas memiliki kapasitas untuk melakukannya, sekalipun dalan penerapannya butuh pendampungan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan ekstra ketat. Semoga rilis BPS tentang NTP jelang Lebaran, mampu kita manfaatkan sebagai momentum perbaikan nasib dan kehidupan petani.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *