Badung – Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (FP Unud) Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S. menjadi satu diantara 18 guru besar yang dikukuhkan Rektor Unud Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU. Sabtu, (16/9).
Prof. Ni Luh Kartini dikenal menjadi akademisi yang getol memperjuangkan pertanian organik di Provinsi Bali dan Indonesia pada umumnya. “Hentikan eksploitasi tanah untuk kepentingan industrialisasi,” ujar Prof. Kartini usai menyampaikan orasi bertajuk “Pertanian Organik Penyelamat Kehidupan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Kearifan Lokal Mendukung Ekonomi Kreatif“ di Gedung Widya Sabha, Kampus Unud, Bukit Jimbaran.
Akademisi yang getol meneliti dan memproduksi pupuk organik dengan bantuan cacing tanah ini menghimbau stakeholder pertanian merubah cara pandang dalam pemanfaatan tanah. Revolusi hijau, tegas dosen Prodi Agroekoteknologi Pertanian itu, telah merubah pola pikir sebagian besar orang yang memandang tanah tidak semata-mata sebagai sumber kehidupan namun tanah dimanfaatkan sebagai “bahan baku” industri. “Jadi tanah harus dikelola secara efektif dan efisien sehingga tanah ditarget mampu menghasilkan yang setinggi tingginya. Caranya, dengan penggunaan bahan-bahan sintetik dan bibit unggul, fokus masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanianhanya memberi makan tanaman, mereka tidak memberi makan tanah,” ujar Prof. Ni Luh Kartini. Penerapan teknologi modern dengan aplikasi pupuk dan obat-obatan pertanian kimia berdampak pada merosotnya kualitas tanah.
Prof. Ni Luh Kartini mengingatkan semua pihak untuk konsisten mengembangkan pertanian organik. Optimalisasi sumber daya lokal dan kearifan lokal, lanjutnya, hanya bisa dilakukan dengan penerapan sistem pertanian organik. “Sumber daya lokal yang dapat digunakan untuk pengembangan pertanian organik adalah cacing tanah,” tuturnya. Cacing tanah, katanya, dapat digunakan untuk memproduksi pupuk kascing. Prof. Ni Luh Kartini yakin pengembangan pertanian organik dapat didorong untuk dipercepat untuk menghindari ekses penggunaan bahan-bahan kimia di sektor pertanian. Dijelaskan, akibat penggunaan bahan kimia di pertanian telah menyebabkan air susu ibu (ASI) terkontaminasi sehingga berdampak tidak sehat bagi pertumbuhan bayi. Berdasarkan penelitian WHO tahun 1990-an, katanya, seorang ibu yang air susunya terkontaminasi residu kemia akibat konsumsi bahan makanan non organik, sekitar 20% pertumbuhan bayi terganggu akibat ASI sang ibu.
Diakuinya, pengembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat sempit, hanya sekitar 0,05 juta Ha. Provinsi Bali berpeluang mengembangkan pertanian organik karena kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan organik semakin tinggi. Disamping itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengembangan pertanian organik. Dipaparkan, Pemerintah Provinsi Bali mendeklarasikan pertanian Bali dikelola dengan sistem pertanian organik tahun 2005. Pada Tahun 2009, Pulau Bali mendeklarasikan Bali menjadi pulau organik dan adanya Kebijakan Go Organik Tahun 2010 dengan pengembangan 1000 desa organik. “ Yang terpenting sudah disahkan Perda Bali Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Sistem Pertanian Organik, dilanjutkan Peraturan Gubernur (Pergub)Provinsi Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut serta peraturan lainnya. Regulasi ini tinggal dibuatkan petunjuk teknisnya sehingga pertanian organik benar-benar berkembang di Bali,” pungkasnya. (*)