Agro Sudut Pandang

PENCETAKAN SAWAH BERKUALITAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

 Antara merilis,Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan perluasan lahan sawah menjadi kunci menuju kedaulatan pangan bagi masyarakat. Ketua Task Force Cetak Sawah Kementerian Pertanian Husnain mengatakan, pemerintah berencana melakukan perluasan areal pertanian melalui Program Cetak Sawah seluas 3 juta hektar tahun 2025-2027 untuk mendukung Kedaulatan Pangan dan Lumbung Pangan Dunia. 

 Daerah prioritas program tersebut adalah Merauke (Papua Selatan) dan Kalimantan Tengah masing-masing 1 juta hektar, Kalimantan Selatan 500 ribu hektar dan Sumatera Selatan 250 ribu hektar, sisanya (250 ribu hektar) di provinsi lain. Kebijakan pencetakan sawah baru merupakan solusi untuk menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada.

 Pencetakan sawah baru sendiri, sudah sering dilakukan dan telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Sebagai upaya perluasan areal tanam, pencetakan sawah dianggap langkah tepat untuk menjawab masalah turunnya produksi beras sekarang ini. Pemerintah sendiri tetap berpandangan, pencetakan sawah merupakan jurus ampuh untuk mewujudkan Lumbung Pangan menuju Kedaulatan Pangan.

 Kebijakan mencapai swasembada pangan sendiri, telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas Prabowo/Gibran dalam 5 tahun ke depan (2924-2029). Dari beragam komoditas pangan strategis, beras merupakan bahan pangan pokok yang memiliki peluang untuk segera di-swasembada-kan, dibanding komoditas pangan lain.

 Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal dan cukup rasional, jika Pemerintah menjadikan pencapaian swasembada beras sebagai titik tekan dan titik kuat untuk mewujudkan swasembada pangan. Atau, dapat juga disampaikan, omong kosong kita akan mampu meraih swasembada pangan, bila tidak diawali dengan swasembada beras terlebih dahulu.

 Di sisi lain, kita juga mengakui, dunia perberasan nasional, kini berada dalam suasana yang sedang tidak baik-baik saja. Beberapa pengamat malah menyebut, Indonesia tengah menghadapi "darurat beras". Turunnya produksi dengan angka cukup signifikan, melejitnya harga beras di pasar dan membengkaknya impor beras, menjadi bukti bagaimana darurat beras terjadi di Tanah Merdeka.

 Kementerian Pertanian sendiri telah menyadari, sedikitnya ada 10 penyebab utama turunnya produksi beras di negeri ini. Sekedar mengingatkan ke 10 penyebab itu adalah pertama volume pupuk subsidi dikurangi 50 persen. Menteri Pertanian mencatat alokasi pupuk subsidi pada 2021 sebanyak 8,78 juta ton. Namun tiap tahun alokasi pupuk turun hingga hanya 4,73 juta ton tahun ini. 

 Kedua adalah sebanyak 17 hingga 20 persen petani tidak bisa menggunakan Kartu Tani. Ketiga adalah petani hanya diberi pupuk satu kali tanam. Keempat Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Jawa mencatat 30 juta orang tidak boleh menerima pupuk. Kelima, alsintan (alat dan mesin pertanian) sudah tua. Keenam adalah kekeringan akibat El Nino. 

 Ketujuh adalah saluran irigasi yang ada, sekitar 60 persen kondisinya perlu direhabilitasi. Kedelapan, jumlah petugas penyuluh lapangan (PPL) yang ada hanya 50 persen dari kebutuhan. Kesembilan bibit unggul yang berkualitas berkurang. Dan kesepuluh anggaran sektor pertanian turun dengan angka cukup signifikan.

 Selain 10 penyebab diatas, sebetulnya ada masalah lain yang butuh penanganan dengan segera. Ke dua hal itu terkait dengan alih generasi petani padi dan alih fungsi lahan pertanian. Alih generasi petani, betul-betul butuh perhatian sangat serius. Mana mungkin kita akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas beras, jika tidak ada petaninya. 

 Menurunnya minat kaum muda perdesaan untuk menjadi petani padi, perlu jadi perhatian khusus dalam 5 tahun ke depan. Sebagai aktivis HKTI yang hingga kini masih tercatat selaku Ketua Dewan Pembina HKTI, Prabowo pasti tahu persis, mengapa anak muda perdesaan terekam enggan jadi petani padi. Prabowo pun tentu tahu jalan keluar seperti apa yang harus digarapnya.

 Alih fungsi lahan pertanian, bahkan alih kepemilikan lahan petani, jangan sampai dibiarkan. Pemerintah penting segera mengevaluasi mengapa UU No.41/2009 dan Permen ATR No.12/2020 seperti yang mandul ? Padahal di daerah pun telah ditetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernue/Bupati/Walikotanya. Faktanya, seabreg regulasi tersebut seperti yang tidak bertuah.

 Semakin membabi-butanya alih fungsi lahan, jelas mesti diprioritaskan penanganannya. Jangan biarkan alih fungsi terus berlangsung, hanya sekedar memuaskan kepentingan orang per orang. Alih fungsi lahan perlu distop sesegera mungkin. Bagaimana pun juga yang namanya lahan pertanian, khususnya sawah merupakan investasi kehidupan bagi generasi mendatang.

 Seiring dengan menjaga, memelihara dan melestarikan sawah yang tersisa, program pencetakan sawah baru merupakan langkah tepat yang patut didukung dengan serius. Catatan kritisnya, program cetak sawah baru, jangan disemangati oleh sistem target. Apa yang akan dilakukan, sebaiknya pelajari dahulu kegagalan pembukaan lahan baru di masa lalu. Setelah itu, baru program cetak sawah 3 juta hektar dapat ditempuh. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dulu-dulu.

 Semoga jadi pencermatan kita bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *