OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Lumbung pangan adalah tempat untuk menyimpan dan mengelola bahan pangan sebagai cadangan pangan masyarakat. Lumbung pangan berperan penting dalam mengatasi kerawanan pangan, terutama saat musim paceklik atau gagal panen. Lumbung pangan juga dikenal sebagai upaya untuk memperkokoh ketahanan pangan bangsa dan negara.
Lumbung pangan memiliki beberapa fungsi, di antaranya:
- Mengantisipasi kerawanan pangan, keadaan darurat, dan gangguan produksi pada musim kemarau
- Membantu petani yang mengalami gagal panen atau panen sedikit akibat cuaca buruk
- Meningkatkan pendapatan kelompok lumbung pangan
- Mengantisipasi kenaikan harga beras di pasaran
Lumbung pangan sendiri, telah ada sejak lama dan menjadi bagian dari sistem cadangan pangan masyarakat Di Suku Badui, Lebak, Banten, lumbung padi disebut Leuit. Sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, lumbung pangan mulai memudar dan menghilang dari kehidupan masyarakat. Atau bisa juga dikatakan, lumbung pangan tidak lagi menjadi budaya krhidupan para petani.
Hilangnya budaya lumbung pangan dalam kehidupan kaum tani, tentu saja perlu dievaluasi dengan seksama. Ada apa sebetulnya dengan lumbung pangan ini ? Mengapa kaum tani sudah tidak menerapkan lagi budaya lumbung dalam kehidupan kesehariannya ? Apakah hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat perdesaan yang tidak lagi berbudaya lumbung ? Atau, ada hal lain yang hingga kini masih belum terang benderang.
Memudarnya atau bahkan hilangnya budaya lumbung dalam kehidupan petani, jelas membutuhkan pencermatan yang seksama. Terlebih jika dikaitkan dengan posisi petani dalam panggung pembangunan pertanian saat ini. Petani, tidak lagi terekam hanya sebagai produsen, namun juga petani pun tercatat sebagai "net consumer".
Selaku "net consumer", petani juga tercatat sebagai pembeli beras untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan utamanya. Ironisnya, kalau sebagai produsen, petani akan menjual gabah dan sebagai konsumen akan membeli beras, maka dalam kenyataannya sering terjadi ketidak-adilan harga bagi petani. Petani saat panen menjual gabah dengan harga murah dan beberapa waktu kemudian, petani akan beli beras dengan harga mahal.
Anjloknya harga gabah saat musim panen tiba, sepertinya telah mengemuka menjadi masalah klasik yang harus dialami para petani padi di negeri ini. Soal ini selalu muncul di waktu panen tiba. Yang membuat kita mengusap dada, mengapa Pemerintah seperti melakukan "pembiaran" atas masalah ini, sehingga selalu berulang setiap musim panen tiba.
Petani akan senang, jika Pemerintah mampu menciptakan suasana agar pada saat musim panen, harga gabah tetap memberi keuntungan optimal bagi petani, sehingga kesejahteraannya jadi semakin membaik. Catatan kritisnya adalah apakah ada kemauan politik Pemerintah ke arah itu, yang ditopang pula oleh adanya tindakan politik nyata di lapangan dan tidak hanya sekedar omon-omon semata.
Jawabannya tegas : mestinya ada. Terlebih di era Kepemimpinan Prabowo/Gibran yang telah menjadikan sektor pangan sebagai salah satu program prioritasnya. Kita percaya masalah pangan, khususnya beras tidak akan diterlantarkan dalam strategi pembangunan di negeri ini. Sebab, para penentu kebijakan pangan sendiri, tentu akan mengingat, urusan pangan menyangkut mati hidupnya suatu bangsa.
Lumbung pangan sendiri, tentu penting untuk tetap ditumbuh-kembangkan. Budaya lumbung yang selama ini mampu memberi berkah, jangan sampai hilang dari kehidupan. Lumbung pangan inilah solusi bagi kaum tani untuk memperoleh pangan pokok, ketika harga beras di pasar melesat cukup tinggi. Problem nya adakah komitmen dan kesungguhan untuk mewujudkan Tata Kelola Lumbung Pangan yang lebih baik ?
Banyak hikmah yang dapat dipetik, sekiranya lumbung pangan kembali digairahkan dalam kehidupan petani. Bila petani mampu menyimpan gabah hasil panenannya di lumbung, tentu petani tidak perlu membeli beras saat membutuhkannya. Petani dapat mengambil gabah di lumbung untuk diolah menjadi beras, yang selanjutnya dikonsumsi oleh keluarganya.
Keberadaan lumbung pangan/padi, sekarang memang belum terasa manfaatnya, karena Pemerintah tengah mengucurkan Program Bantuan Langsung Beras bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat sebesar 10 kg per bulan. Artinya, mereka tidak terpengaruh oleh mahalnya harga beras di pasar. Bayangkan, kalau suasananya berubah, tiba-tiba Pemerintah menyetop Program Bansos beras ini, maka pertanyaannya, dari mana mereka akan memperoleh beras ?
Inilah sebetulnya "pe-er" kita ke depan. Adanya "darurat beras" dalam beberapa tahun belakangan, telah membuat banyak pihak yang kebakaran jenggot. Turunnya produksi beras, mahalnya harga beras di pasar dan membengkaknya angka impor beras, sepertinya kini tampil menjadi masalah serius dalam peta bumi pembangunan pertanian di negara kita.
Semangat Pemerintah untuk menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada, pada dasarnya patut didukung dengan sepenuh hati. Lewat kebijakan inilah kita akan mampu mengatasi ancaman krisis beras yang karena berlangsung nya iklim ekstrim, bakal mengganggu semangat meningkatkan produksi beras setinggi-tingginya.
Mari kita tumbuh-kembangkan lagi lumbung pangan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan masyarakat perdesaan.